PUISI “NOTA UNTUK UMUR 49 TAHUN”
KARYA GOENAWAN MOHAMAD
PENDAHULUAN
Dapat
dikatakan bahwa karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui
kontemplasi dan refleksi, setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam
lingkungan sosialnya. Sebagai sebuah karya seni yang lazim memanfaatkan bahasa
sebagai mediumnya maka bahasa memiliki peran sentral. Bahasa sastra menjadi
media utama untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan. Melalui berbagai
cara, segenap potensi bahasa diusahakan oleh sastrawan agar asosiatif,
ekspresif, dan indah sehingga menarik dan mengesnkan pembaca. Dalam konteks
itulah style ‘gaya bahasa’ memegang peran penting dalam karya sastra guna
menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik.
Menurut
Ali Imron (2009: 12), style ‘gaya
bahasa’ adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas
sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai
efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitsan dan penciptaan makna. Di
sini, penulis mencoba menganalisis puisi “Nota untuk Umur 49 Tahun” karya
Goenawan Mohamad. Penulis menggunakan kajian stitistika dalam menganalisis
puisi tersebut.
HASIL ANALISIS
NOTA UNTUK UMUR 49 TAHUN
Pasir
dalam gelas waktu
menghambur
ke dalam
plasmaku
Lalu di
sana tersusun gurun
dan
mungkin oase
tempat-tempat
terakhir burung-burung
A.
Gaya Bunyi
Dalam puisi, bunyi berperan penting karena bunyi
menimbulkan efek dan kesan tertentu. Bunyi dapat menekankan arti kata,
mengintensifkan makna kata dan kalimat, bahkan dapat mendukung penciptaan
suasana tertentu dalam puisi. Gaya bunyi pada puisi di atas dapat dikemukakan
sebagai berikut.
1.
Asonansi
Asonansi
adalah pengulangan bunyi vocal yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan
dalam satu baris.
Pasir dalam gelas waktu (a)
menghambur
ke dalam plasmaku (a)
Lalu di sana tersusun gurun (a,
u)
dan mungkin oase
tempat-tempat terakhir burung-burung (e, a, u)
2.
Aliterasi
Aliterasi
adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan
dalam satu baris.
Pasir dalam gelas waktu (s)
menghambur (m)
ke dalam plasmaku (m)
Lalu di sana tersusun gurun (s)
dan mungkin oase
tempat-tempat terakhir burung-burung (t)
Puisi di
atas secara keseluruhan didominasi oleh adanya bunyi /a/ dan /u/. Bunyi /a/ dan
/u/ yang mendominasi puisi tersebut mempunyai fungsi menimbulkan suasana rawan
dan genting. Penyair sengaja mendominasi bunyi tersebut untuk mencapai efek
estetis dalam puisinya.
B.
Gaya Kata (Diksi)
Guna menghidupkan lukisan dan memberikan gambaran yang jelas
sesuai dengan gagasan yang ingin dikemukakan penyair dalam puisi “Nota untuk
Umur 49 Tahun”, penyair bayak menggunakan kata konottif di samping kata konkret.
Konotatif maksudnya bersifat tidak langsung sehingga menimbulkan asosiasi
terentu. Kata konotatif digunakan untuk menciptakan bahasa kias (figurative language).
Pada bait 1 dimanfaatkan bahasa kias berupa majas
personifikasi yaitu, baris pertama, kedua, dan ketiga, /Pasir dalam gelas
waktu//menghambur//ke dalam plasmaku/. Pasir adalah benda mati, tapi di sini
pasir seolah-olah hidup karena bisa menghambur ke dalam plasma. Di sini juga
terlihat adanya majas majas hiperbola atau terlalu melebih-lebihkan. Selain itu
terdapat majas metafora pada baris pertama /gelas waktu/, metafora sendiri
merupakan bahasa kias yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam
bentuk yang singkat.
Gaya kata atau diksi pada bait kedua terlihat pada baris
pertama yaitu, kata /tersusun gurun/, pada baris kedua /oase/, baris ketiga
/tempat terakhir/. Masing-masing diksi tersebut memiliki makna tersendiri.
Penyair sengaja menampilkan kata kiasan untuk menciptakan keindahan dalam
puisi.
C.
Gaya Kalimat
Kepadatan kalimat dan bentuk ekspresif sangat diperlukan
dalam karya sastra khususnya puisi. Hal itu mengingat bahwa puisi hanya inti
gagasan atau pengalaman batin saja yang dikemukakan. Oleh karena itu, hubungan
antarkalimat dinyatakan secara implisit agar kalimat-kalimat dalam baris puisi
benar-benar padat, efektif, dan imajinatif.
Pada puisi “Nota untuk Umur 49 Tahun” ini kalimatnya juga
sudah padat dan imajinatif. Terlihat pada kata /di sana/, harusya /di dalam
plasmaku/ tapi, diimplisitkan menjadi /di sana/. Selain itu kepadatan kalimat
tidak hanya terjadi pada tiap kata tapi, juga pada tiap barisnya.
D.
Citraan
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk
menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat
membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Menurut Abram (dalam Al-Ma’ruf,
2009: 158), citraan merupakan kumpulan citra yang digunakan untuk melukiskan
objek dan kualitas tanggapan indera yang digunakan dalam karya sastra, baik
dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias.
Citraan pada dasarnya tercipta melalui bahasa kias. Dengan
demikian, ada hubungan yang erat antara pencitraan dengan bahasa kias yang
asosiatif dan konotatif. Cuddon (dalam Al-Ma’ruf, 2009: 158) mengatakan bahwa
citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek,
tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang
istimewa.
Menurut Scott (dalam Al-Ma’ruf, 2009: 76) citraan kata
merupakan penggambaran angan-angan dalam karya sastra. Sastrawan tidak hanya
pencipta musik verbal, tetapi juga pencipta gambaran daam kata-kata untuk
mendeskripsikan sesuatu sehingga pembaca dapat melihat, merasakan, dan
mendengarkannya. Penggambaran angan-angan tersebut untuk menimbulkan suasana
yang khusus, membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta
untuk menarik perhatian pembaca.
Setiap pengarang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri
yang dapat membedakan pengarang satu dengan pengarang lainnya. Citraan dalam
karya sastra dapat mencerminkan kekhasan individual pengarangnya. Salah satu
bentuk penciptaan kerangka seni adalah pemakaian bahasa yang khas melelui
citraan.
Pada puisi “Nota untuk Umur 49 Tahun” ini, penyair
memanfaatkan citraan visual (penglihatan) dalam melukiskan kehidupan seseorang.
Pasir
dalam gelas waktu
menghambur
ke dalam
plasmaku
Tampak
pada bait pertama, penyair menggunakan citraan visual pada kata /menghambur/.
Lalu di sana tersusun gurun
dan
mungkin oase
tempat-tempat
terakhir burung-burung
Pada bait kedua juga terdapat citraan penglihatan. Hal itu
jelas tergambar pada kata /di sana tersusun gurun/.
E.
Analisis Makna Stilistika
Puisi “Nota untuk Umur 49 Tahun”
Menurut Leech dan Shot (1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu,
oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Gaya bahasa menurut Ratna
(2007: 237) adalah keseluruhan cara pemkaian (bahasa) oleh pengarag dalam
karyanya. Hakikat ‘style’ adalah
teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang
diungkapkan. Chomsky menggunakan istilah deep
structure (struktur batin) surface
structure (struktur lahir), yang identik pula dengan isi dan bentuk dalam
gaya bahasa (Fowler, 1997: 6). Dalam Al-Ma’ruf (2009: 7-8).
Dari
berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa style ‘gaya bahasa’ adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan
dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter
pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitsan
dan penciptaan makna. Gaya bahasa dalam kara sastra berhubungan erat dengan
ideologi dan latar sosiokultural pengarangnya.
Style
‘gaya bahasa’ adalah unsur karya sastra yang merupakan sarana sastra. Style ‘gaya bahasa’ karya sastra
merupakan sistem tanda tingka pertama dalam konvensi sastra. Sebagai sistem
tanda, maka style ‘gaya bahasa’ puisi
“Nota untuk Umur 49 Tahun” mempunyai makna. dalam hal ini, style ‘gaya bahasa’ menjadi sarana sastra untuk mengekspresikan
gagasan sastrawan.
Ali
Imron (2009: 161) menyatakan bahwa makna karya sastra merupakan formulasi
gagasan-gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Mengacu
teori semiotik, karya sastra merupkan sistem komunikasi tanda. Oleh karena itu,
apa pun yang tercantum dalam karya sastra merupakan tanda yang mengandung makna
yang implisit di balik ekspresi bahasa emplisit.
Dalam
puisi “Nota untuk Umur 49 Tahun” ini,
penyair mengungkapkan makna sosiologi dalam puisinya. Hal itu terlihat dari
pemilihan katanya yng menggambarkan bahwa /pasir/ adalah manusia, lebih
tepatnya manusia yang berumur 49 tahun. Ia telah memasuki usia yang tua dan
tinggal menuggu waktu untuk kembali kepada-Nya.
Ketakutan
yang tergambar dalam puisi ini tampak pada kata /menghambur//ke dalam
plasmaku/. Rawan dan gentingnya eksistensi manusia dalam waktu antara hidup dan
mati ini merupakan tema yang dominan dalam puisi Goenawan Mohamad. Kehidupan
genting, pertama-tama, sudah tentu, kerena selalu terancam maut yang pada
akhirnya pasti datang, dalam bentuk apa pun.
Lalu di sana tersusun gurun
dan
mungkin oase
tempat-tempat
terakhir burung-burung
Pada
bait kedua tersebut dapat diartikan bahwa telah ada tempat dimana seseorang
meninggal dunia. /dan mungkin oase/ maksudnya oase sendiri adalah air di gurun,
tapi dalam konteks ini maknanya menjadi sebuah tempat yang nyaman dan mungkin
akan ke surga. /tempat terakhir burung-burung/ artinya tempat persinggahan terakhir
manusia sebelum adanya hari akhir/kiamat.
SIMPULAN
Berdasarkan
pengkajian stilistika puisi “Nota untuk Umur 49 Tahun” dapat disimpulkan bahwa
puisi “Nota untuk Umur 49 Tahun” dianalisis dari segi gaya bunyi, gaya kata
(diksi), gaya kalimat, citraan, dan makna stilistikanya. Pertama, Puisi di atas secara keseluruhan didominasi oleh adanya
bunyi /a/ dan /u/. Bunyi /a/ dan /u/ yang mendominasi puisi tersebut mempunyai
fungsi menimbulkan suasana rawan dan genting. Penyair sengaja mendominasi bunyi
tersebut untuk mencapai efek estetis dalam puisinya.
Kedua, gaya kata (diksi)
pada puisi ini menggunakan majas personifikasi, hiperbola, dan metafora. Ketiga, pada puisi “Nota untuk Umur 49
Tahun” ini kalimatnya sudah padat dan imajinatif. Terlihat pada kata /di sana/,
harusya /di dalam plasmaku/ tapi, diimplisitkan menjadi /di sana/. Selain itu
kepadatan kalimat tidak hanya terjadi pada tiap kata tapi, juga pada tiap
barisnya.
Keempat, pada puisi “Nota
untuk Umur 49 Tahun” ini, penyair memanfaatkan citraan visual (penglihatan)
dalam melukiskan kehidupan seseorang. Tampak pada bait pertama, penyair
menggunakan citraan visual pada kata /menghambur/. Pada bait kedua juga
terdapat citraan penglihatan. Hal itu jelas tergambar pada kata /di sana
tersusun gurun/.
Kelima, makna yang
terkandung dalam puisi ini adalah makna sosiologi. Rawan dan gentingnya
eksistensi manusia dalam waktu antara hidup dan mati ini merupakan tema yang
dominan dalam puisi Goenawan Mohamad. Kehidupan genting, pertama-tama, sudah
tentu, kerena selalu terancam maut yang pada akhirnya pasti datang, dalam
bentuk apa pun.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf,
Ali Imron. 2009. Stilistika Teori,
Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Solo: CakraBooks.
Mohamad,
Goenawan. Asmaradana Pilihan Sajak
1961-1991. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar